RINDU PADA SANG AYAH (RASULULLAH SAW)

 shodiq elhamba:

Rindu pada Ayah (Sayyidah Fatimah) 


Matahari di gerbang perpisahan. Cahaya merahnya, bak darah para syahid, bersinar di ufuk. Balantara malam merayap perlahan dan menyelimuti mentari hingga ia bermusafir ke arah yang jauh. 

        

Ketika itu, bintang muncul memancarkan harapan. Hingga kini Fatimah masih bersinar dan darah kehidupan masih mengalir di seluruh urat nadinya. 

       

Melihat belahan jiwanya, Ali mulai merasa sesak oleh sakit cinta dan kesedihan. Ali belum berani jika berpisah dengannya. Maka dia mencoba merapat ke dekat istrinya, sementara para perempuan keluar dari kamar secara bersamaan. Ali duduk di sampingnya. 

        

Begitu banyak kisah cinta, rindu, duka yang sudah mereka jalani berdua. Sekarang sudah saatnya perjalanan akan berakhir. Penantian akan segera datang. Dengan terus berusaha menahan gundah semantara bibirnya berupaya tersenyum, Fatimah berkata lirih pada kkaish hatinya;

        

 "Duhai putra pamanku," begitu lembut suara itu. Sungguh bagi Ali suara itu sangat mirip dengan ayahnya, Rasulullah. "Ya Dinda.. !" Senyum terbit dari bibir surganya Fatimah. Dia berusaha untuk tetap tegar meski skair meraja di tubuhnya. 

        

"Saat-saat yang kunantikan semakin dekat, dan jiwaku semakin merunduk. Sungguh, tak ada yang kuharapkan ke cukai pertemuan dengan ayahku, Rasulullah. Dan, aku hendak mewasiatkan kepadamu beberapa hal yang terlintas di pikiranku."

         

Rindu pada ayah, Rasulullah? Bukankah ini akan menjadi awal sebuah perpisahan. Dari temu yang dibangun dengan kisah dan kasih, sekarang akan berubah menjadi semu yang berakhir pisah dan sedih. 

        

Rindu pada ayah, Rasulullah? Bukankah ini akan menjadi awal yang harus berakhir. Sebuah perjalanan menuju ke abadian. 

        

Melihat belahan jiwanya, Ali lebih banyak diam dengan memikul gunung kesedihan. Satu gunung saat awan-awan yang disesaki air mata menghujani nya. Sebuah hari yang mengalir kecintaan kepadanya telah berhenti. Satu wajah yang menyinari matahari, kini telah terhijabi. Sebuah cahaya yang menerangi jalan hidupnya kini telah padam. 

        

"Wasiatkanlah kepadaku apa yang engkau sukai, wahai, putri Rasulullah."

        

"Wahai lelaki yang selalu aku cintai," Fatimah terbata-bata mengatakan apa yang dipikirkan. "Aku yakin... Sungguh aku yakin, engkau adalah sosok yang tidak akan pernah mendustai dan mengkhianati janji yang kuucapkan. Dan, aku tidak akan pernah berpaling sejak dari awal kita bersama."

         

Telapak  tangan Ali bergerak perlahan, menyentuh kepala istrinya dengan kasih. "Aku berlindung kepada Allah. Sungguh engkau adalah orang yang paling arif dan mengenal Allah. Engkau orang yang paling baik, paling bertakwa, dan takut kepada Allah."

         

Senyum Ali. Hatinya remuk redam. Sedih. Matanya memanas. Napasnya tak beraturan. "Sungguh Allah telah memulikanku terapi perpisahan denganmu adalah ketetapan Aah yang niscaya tidak dapat kita hindari. Demi Allah, kepergianmu membangkitkan lagi kesedihanku setelah ditinggal Rasulullah. 


Kehadiranmu membangkitkan duka yang tiada tara nya. Sesungguhnya kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya."

         

Tak sanggup lagi Ali menampung air matanya. Tumpah dan mengalir deras. 

Tangannya meraba kepala Fatimah, dia tempatkan ke pangkuannya; "Wasiatkanlah kepadaku sekehandakmu.

       

Ali menahan tangisnya. 



@elhamba_


Detik-detik ketika sang bintang mihrab, Sayyidah Fatimah meninggalkan dunia 😭😭😭.

Comments

Popular posts from this blog

AGAR CANTIKMU SAMPAI KE SURGA

Pentingnya Menuntut Ilmu Bagi Muslimah Sebagai Madrasatul Ula

SPECIAL MILAD SAYYIDAH FATIMAH AZ-ZAHRA